Pagi ini saya tengah menerima kuliah
yang disampaikan oleh “Agus Suwigno” dengan tema “Pendidikan Tinggi dan
Goncangan Perubahan”. Beliau adalah seorang “master of arts” dalam bidang Pendidikan
dari Universitas Amsterdam, Belanda. Beliau menjelaskan sebagaimana yang ia
kutip dari Driyakara, Pendidikan bertujuan untuk hominisasi (manusia) dan
humanisasi (manusiawi). Akan tetapi, sejak terjadinya “informasionalisasi” yang
ditandai dengan merebaknya “teknoekonomi” yakni, temuan teknologi yang
mendorong pertumbuhan ekonomi, lembaga pendidikan tinggi mendapatkan goncangan,
paradigma pendidikan mulai bergeser dari “knowledge is power” menjadi “money is
power”. Bergesernya paradigma perguruan tinggi adalah juga imbas dari pada dua arus
tuntutan, masyarakat dan pasar kerja. Masyarakat, terutama orang tua, menginginkan
agar para mahasiswa setelah sarjana dapat lansung memperoleh pekerjaan,
sementara dunia kerja berharap agar para sarjana memiliki kualifikasi seperti
yang diinginkannya. Perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba menjadikan calon
sarjana seperti apa yang diharapkan oleh dua arus tuntutan di atas, menjadikan
para lulusannya agar lekas “laku”. Atmosfer akademik kemudian dirombak
mengikuti kualifiskasi dunia kerja yang terus berubah. Gairah berfikir kritis
dosen dan mahasiswa diredam. Kampus menuntut agar sarjananya memiliki “skil”
kerja sesuai keinginan pasar.
Dengan agak gemetar dan gugup, saya lalu
mengacungkan tangan, setelah dizinkan saya menyatakan: Mohon maaf Pak, setahu
saya, kampus adalah seperti pendapat “J.A Perkins” dalam buku “Civitas
Akademika” yang ditulis oleh Basri Amin dan SQB yang menyatakan: Universitas
adalah perwujudan bersama atas hak manusia untuk mengetahui. Selaras dengan itu
juga, dalam buku yang sama, Prof. Edward Shils menuturkan: universitas adalah
wadah menemukan dan mengajarkan kebenaran-kebenaran tentang hal-hal serius dan
penting. Dan salah satu “karakter warga kampus”, menurut Shils: energinya yang
“aktif” untuk “memahami kenyataan, mencipta kenyataan baru, atau merubah
kenyataan yang ada”. Penulis buku itu pun juga berpendapat: Universitas, adalah
rumah yang mewah bagi pengetahuan dan kearifan yang terbentuk dari hasil
belajar yang mendalam. Universitas sebagai lembaga Pendidikan Tinggi, bukan
pendidikan dasar atau menengah. Kita datang ke kampus tidak sekadar datang
dengan rutinitas, tapi hendaknya dihayati sebagai sebuah pangilan moral, bahkan
dirasakan sebagai sebuah kehormatan dan keistimewaan. Prof. Heru Nugroho, SU.,
PhD. Dalam pidato pengukuhannya guru besar Sosiologi, Fisipol UGM bertajuk “Universitas
dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi kritis” mengatakan bahwa Universitas
bukan semata-semata merujuk pada gedung-gedung yang megah yang berdiri di atas
tanah berhektar-hektar, yang memiliki sistem administrasi dan birokrasi canggih
dan didukung oleh peralatan canggih, tapi juga merujuk kepada organisasi
manusia yang memiliki “aktivitas akademik”, Universitas merupakan tempat “bertemunya
para sarjana” dalam rangka “mencari kebenaran akademik” melalui berbagai benuk
riset, sekaligus sebagai lembaga untuk mengembangkan kapasitas diri melalui
disiplin yang diyakini oleh masing-masing insan akademik, Universitas menjadi “meeting
of minds” (pertemuan pemikiran) para akademisi.
Agus Suwigno dengan roman wajah serius kembali
menjelaskan, itulah kondisi ideal dari perguruan tinggi, namun dunia ini terus
berkembang Nak, budaya kapitalisme telah menggurita, tidak hanya masyarakat
awam yang dicengkram, sistem pendidikan kita pun telah digerogotinya. Dewasa ini,
Universitas tak ubahnya “balai pelatihan” dan perusahaan “penyedia dan penyalur
tenaga kerja”. Menurut Romo Drost, perubahan di dunia industri dan teknologi,
telah mengubah cara pandang manusia atas manusia, menggoyahkan arah dasar
universitas, dan mendesakkan paradigma baru penyelenggaan pendidikan sebagai “investasi
ekonomi”. Dengan kata lain, ada tegangan filsafati dalam ketaksaan arah
pendidikan tinggi, universitas khususnya saat ini.
Seorang kawan yang resah sedari tadi
karena merasa rugi berstatus sebagai mahasiswa dan tak sabar menanti klimaks
kuliah pagi ini bertanya dengan berang “Lantas apa solusi dari Bapak?”. “Baiklah”
kata Agus Siwigno setelah menyeruput teh yang kami sediakan. Beliau kembali
menjelaskan. Sederhana saja, kita harus menemukan kembali Pendidikan Tinggi. Dengan
menemukan kembali Pendidikan Tinggi, saya bermaksud menunjuk upaya
mengidentifikasi tuntutan-tuntutan pasar kerja tanpa sendiri kehilangan arah
visionernya. Tujuan pengindentifikasian ini dua: pertama, untuk meletakkan
dasar-dasar inti bagi pembentukan identitas. Kedua, menyediakan bagi para
penyelenggara PT suatu rujukan untuk merumuskan kebijakan. Pada bagian ini saya
mengusulkan “kualifikasi lulusan” dan “benchmark” sebagai dua hal yang perlu
ditelusuri dan oleh siapapun yang peduli terhadap perkembangan PT. sembari
mengajukan penalaran mengapa kualifikasi lulusan dan benchmark penting
ditelusuri dan diolah, saya juga telah berupaya sebaik-baiknya agar setiap
bagian penjelasan selalu disertai contoh-contoh yang relevan. Namun, sebelum
saya menjelaskan kualifikasi lulusan dan benchmark, saya ingin kalian menriset
sesuatu yang dapat menjadi solusi atas benturan pemikiran kita pada kuliah pagi
ini.
Tiba-tiba diluar ruang kuliah ada
panggilan, “ka Dilwan so makan?”
“Belum uwti,” jawabku.
“Makan dulu ka, napa ada nasi hangus
sisa tadi malam dan ikan yang sudah digigit kucing”
No comments :
Post a Comment