Saturday, January 14, 2017

BASRI AMIN INTELEKTUAL KEKINIAN?

Siapa yang tidak kenal namanya? Insan akademis sudah tentu tidak asing dengan nama itu, begitu pula birokrasi pemerintahan. Tidak hanya di negeri serambi madinah, namanya lebih dulu familiar di Sulawesi Utara dan Maluku.

Friday, November 11, 2016

MEKAR CINTA

Malam itu Cakra dan teman-temannya baru saja tampil menari dalam sebuah acara amal yang diselenggarakan Forum Komunikasi Osis (FKO) Kendari. Mereka tampilnya di hotel. Sebelum pulang mereka diberi satu amplop putih.

Monday, October 24, 2016

YANG LEBIH DITAKUTKAN SOEHARTO DARIPADA PKI

Suramnya jalan itu sudah apik dikisahkan Dedi Padiku, dalam bukunya “Mengejar-ngejar Mimpi” yang saya baca di bawah rinai hujan samping TVRI kota serambi Madinah. Pemuda asal Suwawa yang kini bekerja di Jakarta itu menuturkan, sewaktu ia menempuh pendidikan di salah satu  sekolah kejuruan termasyhur di Kota Gorontalo, jumlah peminat dan kuota siswa baru yang disediakan calon sekolahnya terpaut jauh. Dia bersyukur karena dapat diterima melalui jalur resmi. Sementara yang gagal hanya bisa gigit jari. Punglipun menjadi alternatif terbaik untuk memuluskan keinginan beberapa “orang-orang gagal tapi berduit” untuk bersekolah di tempat itu.


Kejadian di atas hanyalah salah satu dari ribuan pintu-pintu aktualisasi Pungli yang kerap terjadi di negara yang konon dijajah Belanda selama 31/2 abad ini.

Sebenarnya, peran Pungli dalam kehidupan sangat penting. Berkat dia: kendaraan tertilang selesai di tempat, perkara dipengadilan bisa disendatkan sekaligus pula dapat dipercepat, sertifikasi guru bisa dilancarkan. Berkat Pungli nasi keras terasa bubur. Alat Doraemon sekalipun tidak bisa menandinginya. Banyak yang suka padanya pun tidak sedikit yang membencinya. Iri hati muncul. Diciptakanlah Fitnah, Pungli lalu dicap teroris yang mesti diberangus.


Berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan Kepolisian di Kementrian Perhubungan atas laporan kementrian itu sendiri atas maraknya kelicinan dalam instansinya, perang melawan Pungli semakin dikobarkan ditandai dengan dilahirkannya satuan tugas khusus di bawah kekangan Menko Polhukam Wiranto.

Kejadian miris tersebut tidak luput pula dari pantauan masyarakat. Bagai membersihkan dengan sapu yang kotor, begitu kata khalayak. Rahasia umum itupun dikuak bahwa dalam tubuh sehat kepolisian terdapat jiwa bernoda. Mereka tidak pantas melakukan operasi sebab dalam tubuhnya sendiri mengalir darah Pungli. Jika demikian siapa berani memandikan buaya? Cicak versus Buaya sudah lewat, Kan janggal juga bila Nusron harus turun tangan, karena hanya tangannya yang tau untuk apa dia turun.

Dalam sejarahnya, “Pungli lebih dulu ada ketimbang kemerdekaan Indonesia. Pungli tak terpisahan dari kehidupan. Ia ada disetiap tempat yang berhubungan dengan pelayanan,” ungkap James Luhulima dalam kolom politik Kompas. Bahkan, menurut Adi Andojo Soetjibto, “Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di negeri ini sudah ada yang namanya upeti. Di zaman penjajahan Belanda juga sudah ada ungkapan ‘voor war, hoort wat’ (untuk apa, tentu ada apa-apanya).” Dalam paragraf lain pada Opini Kompas, Adi A.S menuliskan, “memberantas pungli tidaklah mudah, karena pungli di negeri ini tidak dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi lebih sebagai kebiasaan yang sudah membudaya.”

Bagi Soeharto, Pungli lebih mengerikan daripada PKI. Tiga puluh dua tahun kepemimpinannya, Pungli selalu mengusiknya. 16 Juni 1977, Bapak Pengutang itu bahkan memerintahkan lembaga tersangar di eranya, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) agar Pungli disapu bersih. Terkaman singa itu membuahkan hasil, Pungli mereda, masyarakat tersenyum bangga. Namun, Kepala Staf Kopkamtib, Laksamana Sudomo beda perasaan dengan publik. Menurutnya, gerakan yang dipimpinnya hanya sebatas pemantik, tak bisa terus dilakukan. Pungli sungguh sulit diberantas dari luar. Ia menyarankan, agar penyakit ini lenyap maka setiap lembaga mesti membentuk sistem imunnya sendiri. Apa hendak dikata, sistem pengawasan internal tidak berjalan baik. Pungli kembali bangkit dan terus menggerogoti.

“Pada masa Soeharo,” tulis Adi A.S, Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung, ada usaha lain yang sempat dilakukan demi memberantas Pungli ini. Waktu itu, Menteri Penertiban Aparatur Negara, JB Sumarlin menyamar sebagai rakyat biasa. Ia menginspeksi mendadak ke satu rumah sakit dan menindak langsung petugas yang melakukan Pungli. Sayang, menurutnya, gerakan itu hanyalah gerakan tak berkepanjangan. Karenya, Pungli kian marak hingga kini. Ia pun berharap, satgas khusus yang baru dibentuk Jokowi bukanlah gebrakan sesaat, yang nasibnya hanya meledak lantas hilang diperjalanan.

Meski di sisi lain ada nada pesimis terpendam, namun api optimis jangan sampai padam, ia harus tetap menyala menerangi malam. Hanya harapan yang dapat membuat hidup terus berlanjut. Kepercayaan masyarakat tak kalah penting agar pemerintah melangkah tanpa takut. Pemberantasan Pungli tengah berlangsung, partisipasi masyarakat jangan dipasung. Semua elemen dari unsur tekecil hingga raksasa: baik itu sistem maupun manusia selaku perancang sistem dan pelaksana sistem tersebut, mari sama-sama mengerjakan amal kebaikan, mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al Ashr :3).

Sumber: 85% Kompas 22/10/16

Saturday, October 15, 2016

TERTIPU DI YOGYAKARTA


Puluhan langkah meninggalkan gerbang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta; langit berlahan berselimut gelap. Padahal,  kami baru saja melakukan pemotretan di bawah langit terang bersama Soekarno dalam ukiran batu di depan fakultas Seni Rupa. Berkah Tuhan dari langit sesaat kemudian bercucuran memberikan hidup dan mungkin juga kematian. Saya dan mantan Ketua Komisariat STMIK ICHSAN Gorontalo terjebak dan bersembunyi bersama batako di balik atap seng. Hujan sesekali menyapa melalui celah bundar bekas paku. Sepatu putih, teman perjalanan dari kost ke Radio Buku, basah dan kotor terkena dampak erosi percik. Dekat dengan sepatu, semangka seharga 8500 yang kami beli tak jauh dari tempat berteduh kulit dan bijinya berserakan.

Tuesday, October 11, 2016

AKU DAN BUKU

Membaca kadang membuat mata terasa letih, ngantuk tak terhindarkan. Selembar tulisan bak pil tidur paling mujarab. Sementara, halaman-halaman berikutnya rindu dijamah tiada terkabul. Peristiwa pilu pernah datang dari guru Fisika MAN 1 Kendari. Sewaktu mahasiswanya, ia giat menghabiskan hari bersama buku, bila sehari saja tidak membaca, pusing pasti melandanya. Dengan enteng seorang peserta didik memberikan tanggapan, “berarti kalau tidak mau pusing jangan membaca dong Pak.” Siswa sok pintar itu adalah Mad Khatulistiwa.

Doktrin membaca buku dan tulisan dalam bentuk apa saja saya, lahir, ketika saya mengikuti perkaderan Kesatuan Pelajar Mahasiswa Muna Indonesia (KEPMMI) di kota Serambi Madinah, Gorontalo. Persisnya lima tahun lalu – di tengah kesibukannya mendidik pelajar SMA 1 Mananggu dan menyusun buku Saya Malu Sebagai Orang Muna – dogma itu tertutur dari seorang kakak diperantauan bernama Aspian Ibranur.

Jauh sebelum doktrin itu terdengar, sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah menghatam kisah-kisah para nabi, buku tanpa gambar yang tersimpan di lemari kelas. Membaca ketika itu hanyalah untuk menghabiskan waktu bila lelah bermain di halaman sekolah. Saat berseragam putih biru, kebiasaan membaca itu masih ada. Dan bacaan paling menarik adalah petualangan Trio detektif dan komik sewaan teman asrama. Semoga buku itu masih ada di perpustakaan MTS, s PESRI Kendari.

Beranjak ke masa perkuliahan. Saya tercengang, sebab atmosfer kampus sangat berbenturan dengan apa yang ada di alam ide, sebagaimana pemahaman saya selama ini. Kondisi itupun memicu nyali untuk menyampaikan keresahan dengan cara berbeda dari para demonstran. Sejak itu, kegiatan membaca buku beralih membaca realitas dan sedikit demi sedikit mengikatnya dalam tulisan dan menyebarkannya. Tulisan agitatif itu sedikit banyak terinspirasi dari gaya kepenulisan Eko Prasetyo dalam bukunya Penguasa Tipu Rakyat dan Bangkitlah Gerakan Mahasiswa.

Menjelang akhir masa studi strata satu, sepotong kisah dari – buku mungil berjudul ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’ – seorang manusia yang hidup tidak sekadar untuk menulis tetapi juga menulis untuk hidup, berhasil meledakkan semangat untuk istiqomah menyusuri jalan sunyi kepenulisan. Pengalamannya ditolak berpuluh kali ketika mengirim tulisan di media massa hingga membuatnya berkesimpulan bahwa mengirim tulisan untuk ditolak adalah perjalanan inspiratif dan mendapatkan perhatian khusus di hati ini. Meski saya belum pernah sedikitpun ikut pelatihan menulis, berkat bacaan itu, tulisan saya yang jauh dari kata pantas, nekat saja saya kirim ke email Gorontalo Pos. Dari total enam tulisan yang saya kirim secara berkala, dua diantaranya berhasil terbit.

Selasa, 11 Oktober 2016, saya akhirnya tiba di kota pelajar, Yogyakarta. Si inspirator – penulis Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur – itu tidak terlalu jauh untuk dipeluk kehidupannya, perasaan, dan pikirannya. Semoga tanah ini menjadi titik keindahan perjumpaan demi menghimpun kata dalam lembaran yang layak, lebih baik, dan terbaik.


"Tulisan 'Aku dan Buku' ini dibuat sebagai syarat pendaftaran mengikuti Volunteer Batch #4 yang diselenggarakan oleh radiobuku.com. Nantinya, peserta yang lulus akan menjadi relawan dan menyiar. Peserta juga akan dibekali teknik dasar penyiaran radio, mengikuti pelatihan jurnalistik, menulis esai, dan dapat menikmati fasilitas lainnya dari Warung Arsip. Harapan belajar nulis di Radio Buku sepertinya tertunda, karena tulisan di atas belum lulus seleksi. Saya mesti belajar lagi. Semoga masih ada kesempatan. Amin"

Baca Selanjutnya: TERTIPU DI YOGYAKARTA 

Saturday, October 8, 2016

MALAM MINGGUAN BERSAMA MEREKA

Duduk dari kanan Syahrir, Sofyan, Dilwan, Alif, Khaidir, Eni, Cici, dan Fitrah

Inilah beberapa Teman-temanku semenjak perkenalan itu bersemai di masa putih abu-abu. Malam ini pertemuan rindu itu berlangsung sembari menikmati hidangan serta lantunan akustik. Sementara jalanan nampak macet.

Thursday, September 22, 2016

AKU DAN UNG BUTUH AKUA

Sabda Permen DIKBUD[i] RI No. 55 Tahun 2013 Pasal 5 Tentang Biaya Kuliah Tunggal itu  syahdu berbunyi:
Perguruan tinggi negeri tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Sedikit aku kutipkan penggalan, agar bisa kau jelaskan padaku, bagaimana maksud UKT itu? bila aturan ini belum sempat kau baca, sudah kusiapkan kok linknya {klik di sini}. Budayakan membaca yag!

Saturday, September 17, 2016

MAHASISWA MIPA UNG MENOLAK BIAYA RAMAH TAMAH

Sumber: fb. Fakultas MIPA
Jalan Andalas, samping kantor Dewan Perwakilan Rakyat kota Gorontalo, di sinilah Grand Palace Convention Centre berdiri megah. Pintunya terbuat dari kaca tebal tak berwarna, di depannya ada air tergenang. Jenuhan titik air dari mendung awan baru saja mengguyur 30 Agustus 2016. Tempat ini termasuk gedung baru di kota yang merdeka 23 januari 1942. Gedung-gedung di sisi kiri dan kanan berjejar mengikuti jalan. Tempat ini dulunya adalah sawah. Termasuk gedung yang sebentar malam akan kami gunakan dalam acara ramah tamah wisudawan (wati).Tersiar kabar, jurusan Matematika dan Biologi tarik diri dari kegiatan yang diselenggarakan Fakultas MIPA UNG ini. Mahalnya biaya ramah tamah itulah alasannya. Dalam gedung, telah duduk rapih dari kiri ke kanan: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan tentu Geografi terakhir lagi. Kehadiran kedua jurusan, menyangkal isu tersebut.