Kampus adalah tempat terjadinya
harmonisasi intelektual. Tempat dimana gagasan-gagasan baru dilahirkan. Dituang
dalam kata, diolah agar nyata. Ide-ide perubahan bukan untuk dibekukan,
dimandekkan, dilayukan sebelum berkembang, apa lagi digugurkan sebelum
lahirnya. Tentu tidak ada yang menginginkan bayi lahir dalam keadaan cacat atau
menginginkan balita menjadi trauma bangkit untuk kembali melangkah agar
berjalan hingga berlari. Dosen yang baik tentu berharap mahasiswanya memiliki
kemantapan ilmu dengan amal yang menawan.
Sungguh disayangkan, kini Orde baru seakan merasuki beberapa dosen. Zaman kepemimpinannya yang begitu otoriter.Bagi siapa yang bersuara mengkritik, dianggap mengganggu stabilitas nasional alias kenyamanan para elit akan mengalami nasib berkesulitan. Tidak ubahnya seperti orde baru. Banyak sudah disaksikan atau bahkan dialami. Betapa sifat dari Orba hidup di jiwa dosen, dikembangkan bahkan dibanggakan. Beberapa mahasiswa yang mencoba melakukan kemajuan kadang harus dibungkam dengan cara yang begitu halus. Nilai terancam, wisuda tertunda. Beranjak dari benturan pemahaman, tidak sepakat dengan teori, sistem mengajar dosen, atau apalah namanya. Yang dianggap mengancam keruntuhan nama baik dosen, sebaiknya diamankan. Maka benarlah, idealisme mahasiswa di ujung jemari dosen.
Tidak ada kemajuan tanpa perubahan. Bocah
yang pandai bersepeda adalah tanda bahwa dia berani mencoba belajar melakukan,
jatuh,dan bangkit lagi. Ayuh sepeda meskipun lutut dan siku berdarah-darah.Setiap
tetes darah yang mengalir adalah langkah-langkah perubahan untuk maju.
Sungguh merisaukan. Mengapa ketika
suara-suara perubahan untuk kemajuan didengungkan dengan lantang dan penuh
penghormatan harus mendapatkan balasan intimidasi?
Dalam petualangan intelektual, bisakah
kita menjadikan dosen sebagai teman agar kita bebas bertanya dan
berdebat?Bisakah kita menjadikan dosen sebagai sahabat agar kita layak
mengkritik? Dapatkah dosen dijadikan orang tua agar kita bebas menerima petuahnya?
No comments :
Post a Comment