Catatan
20 Mei 2014
“Kampus rumah tangga,” berpendapat seorang mahasiswa secara
spontan setelah mendengar orator ruangan memaparkan kondisi kampus
peradaban-merah maron yang dosennya adalah pasangan-pasangan suami-istri. Dosen
Y ternyata istrinya adalah dosen A, dosen E istrinya adalah dosen R, dst.
Memang tidak semua demikian, namun jumlah pasangan ini juga tidak sedikit.
Munkin juga ini hanya terjadi di Fakultas MIPA UNG. Dekan fakultas MIPA
contohnya, siapa suaminya?. Kajur fisika, siapa istrinya?. Kaprodi Geologi,
siapa suaminya? Dll.
“Ada cara mudah untuk menjadi dosen di UNG ini,” kata sang Orator.
“menikah saja dengan dosen,” katanya lagi. Disaat yang hampir bersamaan dengan
argumen sang orator, kawan kuliahku mengatakan “hamili saja anaknya dosen,”
kelas pun menjadi gaduh, dipenuhi tawa-tawa ilmiah.
Menurut aplikasi penerjemah (PD English-Indonesia). Nepotisme
dalam bahasa Inggrisnya adalah “nepotism”
yang memiliki arti “mendahulukan sanak
saudaranya sendiri dalam sebuah jabatan”.
Kampus ini memang unik. Kampus ini merupakan lahan yang baik
untuk tumbuh suburnya nepotisme.
Kampus rumah tangga adalah kampus yang di dalamnya berisi
kerabat-kerabat dekat, kampus yang dosennya adalah sepasang suami-istri.
Ada tiga kata yang sejak dulu hingga kini menjadi persoalan
bangsa, yaitu: korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Persoalan korupsi, secara
khusus sudah ada lembaga independen yang mengurusnya, lembaga KPK (komisi
pemberantasan Korupsi) namanya. Sedangkan dua masalah lagi belum mendapatkan
perhatian khusus. Oleh karena itu, pemerintah perlu membentuk lagi lembaga
independen lainnya yang mengurusi persoalan kolusi dan nepotisme. Bisa KOPKOL
(komisi pemberantasan kolusi) dan KOPEN (komisi pemberantasan nepotisme).
Aku tak tahu, apa yang salah dengan KKN
No comments :
Post a Comment