Saturday, October 15, 2016

TERTIPU DI YOGYAKARTA


Puluhan langkah meninggalkan gerbang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta; langit berlahan berselimut gelap. Padahal,  kami baru saja melakukan pemotretan di bawah langit terang bersama Soekarno dalam ukiran batu di depan fakultas Seni Rupa. Berkah Tuhan dari langit sesaat kemudian bercucuran memberikan hidup dan mungkin juga kematian. Saya dan mantan Ketua Komisariat STMIK ICHSAN Gorontalo terjebak dan bersembunyi bersama batako di balik atap seng. Hujan sesekali menyapa melalui celah bundar bekas paku. Sepatu putih, teman perjalanan dari kost ke Radio Buku, basah dan kotor terkena dampak erosi percik. Dekat dengan sepatu, semangka seharga 8500 yang kami beli tak jauh dari tempat berteduh kulit dan bijinya berserakan.

Terbentang dari perempatan Alun-alun kidul Kota Yogyakarta hingga pantai dimana Nyi Roro Kidul katanya berkuasa, jalan Parangtritis di hadapan kami bisa dilalui lima mobil angkutan kota sekaligus. Mobilitas kendaraan cukup tinggi meski gemuruh hujan hampir merubuhkan atap penaung kami. Sempat ia mereda, peluang itupun tidak kami sia-siakan untuk berlari sejauh dua ratus meter mencari suaka yang lebih pantas. Dalam pelarian, bis umum sempat ikut berlomba. Sebelum menyamai kami, saya melambaikan tangan kanan, tersenyum pada pengemudinya. Sial, roda bus terus melaju membiarkan deru hujan daerah Sri Sultan Hemungku Bawono Kesepuluh membelai beku kulit kami.

Dua jam lebih kami berteduh di Rumah Makan Rata-rata. Mendekati maghrib, intensitas hujan menurun, stamina turut merosot. Perut keroncongan belum terisi sejak siang. Pagi tadi saya sempat minum susu jahe, sedangkan Wahyu – teman seperjuangan di HmI Cabang Gorontalo– menyeduh setengah gelas sebungkus kopi susu. “Tidak biasa sarapan pagi ana,” kata pria berpostur tinggi, kurus, berotot, waktu saya ajak makan. Dengan berat hati, nasi sisa semalam saya santap sendiri. Di seberang jalan nampak warung Penyetan De’Putri yang mungkin pas dengan kantong kami.

Sembari menyeruput air hangat di warung itu, bayang-bayang wawancara untuk menjadi relawan penyiar yang dilaksanakan Radio Buku, Volunter Bacth#4 namanya, menyisikkan kenangan baru, karena ini adalah pengalam pertama. Empat hari sebelumnya, melaui email dan sms, saya dinyatakan lolos seleksi online. Peserta yang dinyatakan lolos diminta datang mengikuti wawancara. Lokasinya di kabupaten Bantul, kec. Sewon, belakang kampus ISI. Wahyu menemaniku. Kami datang terlambat, padahal menurut Google Maps, jarak tempuh hanya 13 km. Kami meninggalkan kos sejak 11.30, sampai di lokasi sekitar 14.30.

Menuju lokasi, kami menaiki bus Trans Jogja. Petugas halte Trans Jogja depan UIN berperilaku buruk. Katanya kalau mau naik di halte sebelah yang petugasnya tidak ada itu harus membayar kepadanya tujuh ribu untuk dua orang. Kami membayarnya lantas pindah halte sebelah. Saya sempat ragu, karena kalau pramugara menanyakan apakah kami sudah bayar atau belum, kami tidak bisa membuktikan apa-apa. Dugaanku benar, setalah masuk ke bus, petugasnya bertanya sudah bayar atau belum. “Saya sudah bayar di halte sebelah pak,” kataku sambil tersenyum bangga. Petugas yang berdiri di pintu masuk air mukanya berubah kecut mendengar jawaban itu.

“Di halte berikutnya bapak turun dulu yag, nanti bayar di situ,” ketus petugas berseragam batik itu.

Saya heran mendengar titahnya, kita memang tidak dipercayai. “Petugas depan UIN mohon tidak main minta bayaran lagi pak kalau pelanggan mau naik ke halte sebelah,” saya bilang begitu saat melangkah keluar dari bus ke halte yang dimaksudkan petugas.

Halte Trans Jogja terbagi dua: ada petugasnya dan yang tidak ada petugasnya. Untuk masuk ke halte berpetugas, terlebih dahulu membayar 3500, petugas lalu memasukkan kartunya ke dalam sebuah alat agar diproses secara elektronik, menandakan bahwa satu penumpang telah resmi. Cara lainnya dengan membeli card khusus yang di dalamnya sudah ada saldo. Bila naik dari halte tak berpetugas, setelah masuk ke dalam bis, kartu tersebut akan dipinjam oleh petugas untuk discan, saldo terkurangi. Ketika masuk melalui halte berpetugas, bayarnya dengan menggunakan kartu bersaldo tersebut.

Yogyakarta melenceng sedikit dari jargonnya sebagai “Kota Nyaman.” Bila hari sabtu dan minggu, macetnya menyerupai Jakarta. Bus tumpangan kami bahkan mendapatkan 3 kali lampu merah dalam sekali antrian. Kemacetan ini selain bertambahnya volume kendaraan juga ditengarai sebagi akibat pembangunan di ruang-ruang publik yang sangat ditentang oleh masyarakatnya. Istilah “Jogja ora didul” (Jogja jangan dijual) bertebaran penuh seni di dinding-dinding dekat jalan sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang gencar membangun dengan menjual lahan, mengganti rindang pepohonon dengan beton.

Setelah makan siang menjelang malam di warung Penyetan De’Putri, kami melanjutkan perjalanan. Oh iya, hampir lupa, mau tau apa yang kami makan di warung makan itu?....kami makan nasi, lauknya telur dadar, sepotong timun, dua tempe goreng irisan besar, plus dabu-dabu (sambal) menggoda. Pesanan saya sama seperti Wahyu, mahasiswa S2 Ilmu Pemerintahan konsentrasi Pembangunan Desa Yogyakarta. Harga makanan kami totalnya 14.000, berarti seporsi cuman 7.000. Karena murah dan berkualitas, kami memesan dua porsi lagi dengan menu yang sama seperti tadi untuk dilumat setelah tiba di kos.
Wahyu, Mantan Aktivis di Gorontalo
Energi telah terkumpul. Perjalanan kembali dilanjutkan. Beberapa kali kami mencoba menghentikan, lagi-lagi bus umum tidak meberi tumpangan. Mungkin kami berdiri di tempat yang kurang tepat. Taksi dan delman terlalu mahal buat kami. Sepanjang perjalanan hanya macet yang kami jumpai, tidak termasuk jalan-jalan kecil. Kaki kami melangkah berat hati sekitar dua jam untuk sampai di halte Trans Jogja. Sekitar setengah jam kemudian, mobil besar yang dinanti akhirnya berlabuh dan melaju menuju terminal Giwangan. Setelah istrahat sejenak, bus berganti tetapi dengan armada yang sama, kode 4B. Kami tak perlu bayar lagi, begitu aturannya, kecuali pindah ke halte sebelah atau ganti armada.

Kami tiba dengan selamat di kamar sewaan Wahyu, samping UIN Sunan Kalijaga, tepat pukul sembilan malam. Otot betis sedikit kaku. Alhamdulillah, nasi bungkus masih hangat ketika kami santap setelah membersihkan badan dari petualangan menyenangkan penuh daki dan peluh.

Baca sebelumnya: Aku dan Buku

No comments :