Puluhan langkah meninggalkan gerbang Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta; langit berlahan berselimut gelap. Padahal, kami baru saja melakukan pemotretan di bawah
langit terang bersama Soekarno dalam ukiran batu di depan fakultas Seni Rupa. Berkah
Tuhan dari langit sesaat kemudian bercucuran memberikan hidup dan mungkin juga
kematian. Saya dan mantan Ketua Komisariat STMIK ICHSAN Gorontalo terjebak dan
bersembunyi bersama batako di balik atap seng. Hujan sesekali menyapa melalui
celah bundar bekas paku. Sepatu putih, teman perjalanan dari kost ke Radio Buku, basah dan kotor terkena dampak erosi percik. Dekat
dengan sepatu, semangka seharga 8500 yang kami beli tak jauh dari tempat
berteduh kulit dan bijinya berserakan.
Terbentang dari perempatan Alun-alun kidul
Kota Yogyakarta hingga pantai dimana Nyi Roro Kidul katanya berkuasa, jalan Parangtritis
di hadapan kami bisa dilalui lima mobil angkutan kota sekaligus. Mobilitas
kendaraan cukup tinggi meski gemuruh hujan hampir merubuhkan atap penaung kami.
Sempat ia mereda, peluang itupun tidak kami sia-siakan untuk berlari sejauh dua
ratus meter mencari suaka yang lebih pantas. Dalam pelarian, bis umum sempat
ikut berlomba. Sebelum menyamai kami, saya melambaikan tangan kanan, tersenyum
pada pengemudinya. Sial, roda bus terus melaju membiarkan deru hujan daerah Sri Sultan Hemungku
Bawono Kesepuluh membelai beku kulit kami.
Dua jam lebih kami berteduh di Rumah
Makan Rata-rata. Mendekati maghrib, intensitas hujan menurun, stamina turut merosot.
Perut keroncongan belum terisi sejak siang. Pagi tadi saya sempat minum susu jahe,
sedangkan Wahyu – teman seperjuangan di HmI Cabang Gorontalo– menyeduh setengah
gelas sebungkus kopi susu. “Tidak biasa sarapan pagi ana,” kata pria berpostur
tinggi, kurus, berotot, waktu saya ajak makan. Dengan berat hati, nasi sisa semalam
saya santap sendiri. Di seberang jalan nampak warung Penyetan De’Putri yang mungkin pas dengan kantong kami.
Sembari menyeruput air hangat di warung itu, bayang-bayang
wawancara untuk menjadi relawan penyiar yang dilaksanakan Radio Buku, Volunter
Bacth#4 namanya, menyisikkan kenangan baru, karena ini adalah pengalam pertama.
Empat hari sebelumnya, melaui email dan sms, saya dinyatakan lolos seleksi online. Peserta yang dinyatakan lolos
diminta datang mengikuti wawancara. Lokasinya di kabupaten Bantul, kec. Sewon, belakang
kampus ISI. Wahyu menemaniku. Kami datang terlambat, padahal menurut Google
Maps, jarak tempuh hanya 13 km. Kami meninggalkan kos sejak 11.30, sampai di
lokasi sekitar 14.30.
Menuju lokasi, kami menaiki bus Trans
Jogja. Petugas halte Trans Jogja depan UIN berperilaku buruk. Katanya kalau mau
naik di halte sebelah yang petugasnya tidak ada itu harus membayar kepadanya tujuh
ribu untuk dua orang. Kami membayarnya lantas pindah halte sebelah. Saya sempat
ragu, karena kalau pramugara menanyakan apakah kami sudah bayar atau belum,
kami tidak bisa membuktikan apa-apa. Dugaanku benar, setalah masuk ke bus,
petugasnya bertanya sudah bayar atau belum. “Saya sudah bayar di halte sebelah
pak,” kataku sambil tersenyum bangga. Petugas yang berdiri di pintu masuk air
mukanya berubah kecut mendengar jawaban itu.
“Di halte berikutnya bapak turun dulu
yag, nanti bayar di situ,” ketus petugas berseragam batik itu.
Saya heran mendengar titahnya, kita
memang tidak dipercayai. “Petugas depan UIN mohon tidak main minta bayaran lagi
pak kalau pelanggan mau naik ke halte sebelah,” saya bilang begitu saat melangkah
keluar dari bus ke halte yang dimaksudkan petugas.
Halte Trans Jogja terbagi dua: ada
petugasnya dan yang tidak ada petugasnya. Untuk masuk ke halte berpetugas, terlebih
dahulu membayar 3500, petugas lalu memasukkan kartunya ke dalam sebuah alat
agar diproses secara elektronik, menandakan bahwa satu penumpang telah resmi. Cara
lainnya dengan membeli card khusus yang
di dalamnya sudah ada saldo. Bila naik dari halte tak berpetugas, setelah masuk
ke dalam bis, kartu tersebut akan dipinjam oleh petugas untuk discan, saldo terkurangi. Ketika masuk melalui
halte berpetugas, bayarnya dengan menggunakan kartu bersaldo tersebut.
Yogyakarta melenceng sedikit dari
jargonnya sebagai “Kota Nyaman.” Bila hari sabtu dan minggu, macetnya
menyerupai Jakarta. Bus tumpangan kami bahkan mendapatkan 3 kali lampu merah
dalam sekali antrian. Kemacetan ini selain bertambahnya volume kendaraan juga
ditengarai sebagi akibat pembangunan di ruang-ruang publik yang sangat
ditentang oleh masyarakatnya. Istilah “Jogja ora didul” (Jogja jangan dijual)
bertebaran penuh seni di dinding-dinding dekat jalan sebagai bentuk penolakan
mereka terhadap kebijakan pemerintah yang gencar membangun dengan menjual
lahan, mengganti rindang pepohonon dengan beton.
Setelah makan siang menjelang malam di
warung Penyetan De’Putri, kami
melanjutkan perjalanan. Oh iya, hampir lupa, mau tau apa yang kami makan di warung makan itu?....kami makan nasi,
lauknya telur dadar, sepotong timun, dua tempe goreng irisan besar, plus
dabu-dabu (sambal) menggoda. Pesanan saya sama seperti Wahyu, mahasiswa S2 Ilmu
Pemerintahan konsentrasi Pembangunan Desa Yogyakarta. Harga makanan kami totalnya 14.000,
berarti seporsi cuman 7.000. Karena murah dan berkualitas, kami memesan dua
porsi lagi dengan menu yang sama seperti tadi untuk dilumat setelah tiba di
kos.
Wahyu, Mantan Aktivis di Gorontalo |
Energi telah terkumpul. Perjalanan kembali
dilanjutkan. Beberapa kali kami mencoba menghentikan, lagi-lagi bus umum tidak
meberi tumpangan. Mungkin kami berdiri di tempat yang kurang tepat. Taksi
dan delman terlalu mahal buat kami. Sepanjang perjalanan hanya macet yang kami
jumpai, tidak termasuk jalan-jalan kecil. Kaki kami melangkah berat hati sekitar
dua jam untuk sampai di halte Trans Jogja. Sekitar setengah jam kemudian, mobil
besar yang dinanti akhirnya berlabuh dan melaju menuju terminal Giwangan. Setelah
istrahat sejenak, bus berganti tetapi dengan armada yang sama, kode 4B. Kami
tak perlu bayar lagi, begitu aturannya, kecuali pindah ke halte sebelah atau
ganti armada.
Kami tiba dengan selamat di kamar sewaan
Wahyu, samping UIN Sunan Kalijaga, tepat pukul sembilan malam. Otot betis sedikit kaku. Alhamdulillah, nasi
bungkus masih hangat ketika kami santap setelah membersihkan badan dari petualangan
menyenangkan penuh daki dan peluh.
Baca sebelumnya: Aku dan Buku
Baca sebelumnya: Aku dan Buku
No comments :
Post a Comment